Kuliah, Kenapa tidak?

Posted by Shidiq - Rifqi On Selasa, 23 Februari 2010 0 komentar



Ani adalah seorang siswa SMK yang berprestasi, sebentar lagi ia akan menghadapi UNAS. Ada sesuatu yang membuat Ani gelisah tahun ini. Bukan karena UNAS, melainkan apakah ia akan kuliah setelah SMK? Sebenarnya Ani sudah berencana untuk mendaftar kuliah di salah satu universitas di Yogyakarta, namun ia menjadi bimbang untuk kuliah di universitas tersebut. Mengapa? Ternyata Ani mendapatkan stigma-stigma negatif dari kawan-kawannya. Ada yang mengatakan kalau kuliah itu tidak enak, ada yang mengatakan kalau sekarang banyak sarjana menganggur dan isu terparah adalah biaya kuliah yang tinggi, berpuluh-puluh juta katanya. Inilah yang membuat Ani bimbang untuk kuliah, terlebih orang tuanya tidak tergolong orang mampu.

Mungkin Anda pernah mengalami atau sedang mengalami masalah seperti Ani. Memang, akhir-akhir ini banyak remaja bingung menentukan apakah mereka kuliah atau tidak. Alasannya bermacam-macam. Faktor ekonomi adalah faktor yang paling sering menjadi alasan tidak melanjutkan kuliah. Sayang sekali bukan? Padahal manfaat kuliah juga banyak.

Manfaat Kuliah

1. Menghasilkankan Sumber Daya Manusia yang bermutu

Mengapa kuliah meningkatkan mutu Sumber Daya Manusia? Jawabannya mudah. Seorang sarjana memiliki wawasan dan pegetahuan yang lebih luas dibanding lulusan SMA. Selain itu keterampilan kerja mereka jauh lebih matang dibanding lulusan SMK. Intinya, seorang Sarjana memiliki kecakapan, wawasan dan pengetahuan yang lebih besar dari lulusan tngkat pendidikan di bawahnya.

Sebagai contoh Albert Einstein atau Isaac Newton. Mereka adalah dua tokoh besar fisikawan dunia. Einstein adalah penggagas Teori Relativitas sedangkan Isaac Newton adalah fisikawan perumus gaya. Dulunya Albert Einstein adalah mahasiswa Universitas Zuurich di Swiss sedangkan Isaac Newton adalah mahasiswa universitas Cambridge, Inggris. Melalui bangku kuliah mereka kembangkan ilmu pengetahuan dan wawasan yang mereka miliki sehingga mereka dapat menemukan temuan yang menakjubkan.

2. Peluang kerja besar

Saat ini, banyak perusahaan besar yang membutuhkan karyawan. Pernahkah Anda membaca iklan lowongan pekerjaan di surat kabar? Apakah syarat utama bagi calon pelamar kerja? Pendidikan. Ya, sebagian besar perusahaan membutuhkan pegawai dengan tingkat pendidikan minimal D3 hingga S3. Darimana kita mendapatkan pendidikan tersebut? Tentu saja dari kuliah.

3. Tingginya angka kesejahteraan hidup

Mari kita tengok negaraJepang . Bagaimana mereka bisa maju? Kita ingat kembali sejarah pemboman Amerika atas kota Hiroshima dan Nagasaki di jepang. Mengapa orang Jepang tidak takluk begitu saja kepada Amerika setelah Nagasaki dan Hiroshima luluh lantak? Memang setelah Nagasaki dan Hiroshima luluh lantak bangsa Jepang mengalami keterpurukan. Namun ternyata semangat belajar mereka justru meningkat. Dan hasilnya kini Jepang didaulat sebagai negara paling maju di Asia. Negara yang maju menghasilkan pendapatan yang besar bagi penduduknya, pendapatan yang besar akan meningkatkan kesejahteraan.

Selain itu, gaji karyawan yang notabene lulusan universitas lebih besar dibandingkan dengan lulusan tingkat sekolah di bawahnya (lulusan SMA misalnya). Dengan demikian semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang akan semakin tinggi pula kesejahteraan hidupnya.

Nah itu tadi adalah beberapa keuntungan kuliah. Masih banyak keuntungaan lain yang akan dirasakan ketika menjadi mahasiswa. Misalnya bentuk kegiatan kemahasiswaan yang kompleks. bertemu kawan-kawan baru serta melatih kehidupan berorganisasi dan sosial. Dan jangan salah memilih jurusan. Temukan bakat lahiriyah Anda dan segera masuki fakultas yang cocok agar kemampuan Anda semakin meningkat.


Konsekuensi Kuliah

Untuk mendapatkan sesuatu tentu memerlukan pengorbanan. Pengorbanan dalam kuliah kami sebut konsekuensi kuliah. Ada beberapa konsekuensi kuliah yang harus ditanggung mahasiswa. Namun yang namanya konsekuensi tentu ada penyelesaiannya. Berikut adalah beberapa konsekuensi kuliah dan solusi menghadapinya.

1. Besarnya biaya kuliah

Permasalahan ini adalah permasalahan klasik. Kita tahu bahwa Indonesia memiliki ribuan keluarga yang hidup serba pas-pasan. Namun apakah permasalahan ini dapat diatasi? Jika kita berusaha dan memutar otak, tentu kita mampu mengatasinya, ya setidaknya meringankan masalah tersebut.

Keluarga yang kurang mampu dapat mengajukan bantuan beasiswa mahasiswa dan Bantuan Mahasiswa Miskin kepada Perguruan Tinggi agar mendapatkan keringanan pembayaran. Dalam hal ini pemerintah tentu telah menyiapkan anggaran tersendiri untuk membantu mereka yang ingin mendapatkan pendidikan namun masih terkendala biaya. Bukankah tahun ini pemerintah menaikkan anggaran pendidikan menjadi 20% dari APBN tahunan negara? Namun itu semua memerlukan usaha. Perguruan Tinggi tidak akan tahu kalau mahasiswanya tidak memberitahu pihak Perguruan Tinggi mengenai kondisi ekonomi kita. Jadi jangan hanya menunggu.

Mereka yang memiliki keterampilan, dapat melakukan kerja sambilan (part time) di luar jam kuliah. Setidaknya ini dapat meringankan tingginya biaya kuliah. Melakukan kerja part time membutuhkan usaha yang lumayan keras, namun hasilnya tentu tidak mengecewakan. Pintar memilih Perguruan Tinggi, mencari tempat kerja part time dan pandai membagi waktu adalah kuncinya. Bukankah banyak orang sukses berawal dari kerja keras?

Dan bagi mereka yang berprestasi, ada program-program beasiswa yang dapat membantu mengatasi beban biaya. Oleh karena itu, mumpung masih di SMA/SMK berprestasilah setinggi-tingginya. Apalagi mereka yang lolos PTE (dulu TOEIC) tingkat nasional mendapat jaminan kuliah gratis di universitas negeri mana pun yang dia mau.

2. Ingin segera kerja dan membantu orang tua

Membantu orang tua memang pekerjaan mulia. Namun jika sekiranya Anda belum memiliki kemampuan yang memadai, mengapa tak lebih dipersiapkan lagi? Karenanya jangan terburu-buru mengambil keputusan. Bila memang belum saatnya, jangan dipaksakan.

Jika Anda memang terpakasa bekerja untuk membantu orang tua, maka sisihkan sebagian hasil usaha Anda untuk masa depan Anda. Kuliah tidak harus di masa muda. Sekarang banyak yang sudah bekerja sambil melanjutkan kuliah.

3. Banyak sarjana menganggur setelah lulus kuliah

Permasalahan klasik. Apakah kita pernah berpikir mengapa banyak sarjana Indonesia menganggur? Output yang buruk belum tentu akibat kesalahan sistem. Mungkin saja para sarjana yang menganggur itu semasa kuliah mereka tidak bersungguh-sungguh dalam menuntut ilmu. Mereka sering bolos dan hanya mengejar gelar semata. Bukankah para pakar dunia yang kita kenal juga berusaha keras untuk menciptakan temuan-temuan baru? Albert Einstein mungkin tidak akan emnemukan teori Relativitas jika dia tidak rajin meneliti kejadian-kejadian alam. Handphone mungkin tidak ada jika Alexander Graham Bell tidak menemukan telepon. Oleh karena itu, jangan mudah menyerah dan menggantungkan kehidupan Anda pada takdir. Play and Pray adalah kata kunci menuju kesuksesan.

Akhirnya semua kembali kepada kita. Takdir dan nasib hanya Tuhan dan kita yang dapat mengubahnya. Meski Anda banyak mendapatkan motivasi dari orang lain namun tanpa ada usaha dari kita, motivasi-motivasi tersebut hanya akan menjadi angin lalu. Tetapkan hati meraih yang terbaik. Semoga bermanfaat.


Anak Petani yang Profesor

Posted by Shidiq - Rifqi On Sabtu, 20 Februari 2010 1 komentar


KOMPAS.com - Bagi Saldi Isra, menjadi guru besar alias profesor hukum tata negara pada Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang, adalah kejutan. ”Dalam keluarga saya yang berlatar belakang petani, pencapaian akademis setinggi itu luar biasa, bahkan nyaris tidak bisa dipercaya,” katanya.

Pernyataan itu tak terlalu berlebihan. Ayah Saldi, Ismail (almarhum), memang seorang petani dengan sawah kecil. Ismail tak lulus SD. Ibu Saldi, Ratina (almarhumah), buta huruf.

Pasangan yang tinggal di Solok, Sumatera Barat, itu punya tujuh anak. Saldi anak keenam. Akibat kesulitan biaya, hanya Saldi dan salah satu kakaknya yang bisa kuliah sampai jadi sarjana. Itu pun harus dijalani dengan penuh perjuangan.

Saldi kuliah pada Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang, tahun 1990, setelah dua kali gagal masuk Jurusan Teknik Institut Teknologi Bandung (ITB). Pada semester-semester awal, dia harus berjibaku kuliah sambil kerja.

Dia nyambi mengajar di Madrasah Aliyah di Paninggahan, Solok. Untuk itu, pada akhir pekan, dia rela harus bolak-balik melaju dengan bus umum dari Padang ke Solok sejauh 100 kilometer.

Saldi rajin mengikuti program belajar bersama. Katanya, selain meningkatkan pemahaman atas mata kuliah, dari situ dia kadang mendapat bantuan. ”Saya sering makan di rumah teman saat belajar bersama.”

Saking terbatasnya keuangan, Saldi hanya punya beberapa baju. Pakaian itu terus dipakai secara bergantian. ”Saya tak pernah pacaran. Jangankan apel sama pacar, untuk biaya kuliah saja berat.”

Untunglah, prestasi Saldi bagus. Pada tahun ketiga, dia pun mendapat beasiswa. Tahun 1995, dia lulus dengan predikat summa cum laude.

Pilihan jurusan hukum tata negara membuat Saldi merasa beruntung. Selain para ahli tata negara sangat terbatas, jurusan ini memberinya keleluasaan untuk mengembangkan pemikiran. Dia juga rajin menerbitkan buku dan menulis di media massa. Dari tulisan-tulisan itulah, dia muncul sebagai pemikir hukum tata negara yang menonjol di Tanah Air.

Saldi mengambil kuliah program master di University of Malaya, Kuala Lumpur, Malaysia, kemudian program doktor di Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, lulus tahun 2009. Tak lama setelah lulus, kini dia menjadi profesor hukum tata negara kedua di Universitas Andalas.

Apa yang dilakukannya dengan pencapaian akademis itu?

”Saya akan meluangkan lebih banyak waktu untuk mendidik mahasiswa. Saya ingin mendorong lahirnya generasi baru demi membangun masyarakat,” katanya. (IAM/ANA)

http://edukasi.kompas.com/read/2010/02/07/05123877/Anak.Petani.yang.Profesor



Bahkan, 15 Universitas dari AS Pun Berpromosi ke Surabaya...

Posted by Shidiq - Rifqi On Jumat, 19 Februari 2010 0 komentar


SURABAYA, KOMPAS.com Sebanyak 15 universitas yang berasal dari Amerika Serikat akan menggelar promo berupa pameran bersama dalam US Education Fair, Sabtu (20/2/2010) di Hotel JW Marriott, Surabaya.

"Pameran ini digelar untuk memberikan informasi yang akurat, komprehensif, terkini, dan obyektif kepada masyarakat di Surabaya dan sekitarnya untuk dapat mengenal kesempatan belajar di AS," ujar Advisor Education USA Advising Service Ratna I Widjaja di Surabaya, Jumat (19/2/2010).

Ratna menuturkan, Education USA merupakan pusat informasi yang disponsori oleh Departemen Luar Negeri Amerika Serikat. Di seluruh dunia terdapat 450 pusat Education USA dan di Indonesia ada empat, yakni di Jakarta, Surabaya, Medan, dan Malang. Rencananya, lanjut Ratna, promo ini akan digelar di 5 kota, yakni Medan, Jakarta, Bandung, Surabaya, dan Yogyakarta.

"Di Surabaya ini adalah kali pertama pameran (digelar sebelum di) kota-kota lainnya," ungkapnya.

Sementara itu, Ryan Packard dari North Seattle Community College Washington mengatakan, dalam pameran tersebut pihaknya akan menjelaskan program-program yang dimiliki North Seattle Community College, baik untuk jalur vokasi maupun transfer untuk melanjutkan program S-1 atau S-2.

"Banyak program yang bisa dipilih oleh mahasiswa dari luar negeri untuk belajar di Seattle, seperti business atau engineering. Untuk TOEFL tidak dipersyaratkan dan sampai saat ini ada 161 mahasiswa dari Indonesia," ujarnya.

Menurutnya, mahasiswa yang belajar di Seattle akan mendapat pengalaman yang berbeda dibanding kota-kota besar di AS karena gaya hidup dan kultur di sana agak berbeda.

Dalam promosi dan kunjungan kali pertama di Surabaya ini tidak ada target untuk mendapatkan calon mahasiswa yang akan belajar di Seattle. "Namun kalau mereka belajar di luar negeri biasanya memiliki prospek lebih besar untuk mendapatkan pekerjaan, karena mereka tidak hanya belajar soal ilmu, tapi belajar budaya dan pengalaman yang berbeda dari asal negara mereka," tambahnya.

http://edukasi.kompas.com/read/2010/02/19/17085121/Bahkan..15.Universitas.dari.AS.Pun.Berpromosi.ke.Surabaya...


Asah "Berlian" Calon Peraih Nobel

Posted by Shidiq - Rifqi On Senin, 15 Februari 2010 0 komentar


Luki Aulia

KOMPAS.com - Jika ingin memperbaiki kualitas dunia pendidikan tinggi, hanya ada dua hal yang bisa kita lakukan. Dua hal tersebut adalah meningkatkan kualitas kegiatan penelitian dan kegiatan pengajaran. Pemikiran awal itu dimiliki Rektor Universitas Indonesia Gumilar Rusliwa Somantri.

Hasilnya, UI kini menduduki peringkat ke-201 dari 500 perguruan tinggi terkemuka di dunia (hasil Times Higher Education-QS World University Ranking/THESS tahun 2009).

Kegiatan penelitian dan pengajaran yang berkualitas tidak bisa diperoleh jika tidak didukung dosen dan mahasiswa berkualitas. Apalagi jika mahasiswa kerap ditinggal dosen yang lebih sering mengajar di tempat lain.

Itu yang mendasari langkah Gumilar menata dosen, tahun 2008. Salah satu contoh, dosen inti penelitian diberi renumerasi Rp 15 juta per bulan. Dia harus lebih banyak mencurahkan waktu untuk penelitian.

Apakah program itu efektif?

Efektif. Sekarang dosen lebih betah di kampus dan fokus pada penelitian dan pengajaran. Dengan penataan ini, dosen bisa meningkatkan kualitas mengajar dan meneliti tanpa harus memikirkan kesejahteraan. Sebelum naik, gaji dosen kira-kira Rp 2 juta. Kami ingin mengasah ”berlian-berlian” dalam kegiatan penelitian dan pengajaran dengan karya yang dipublikasikan di jurnal internasional atau bahkan Nobel, menjadi pemimpin sekaligus entrepreneur.

Sudah terlihat hasilnya?

Melihat kondisi UI saat ini, ”berlian” bidang penelitian masih butuh 10-15 tahun. ”Berlian” di bidang pengajaran perlu 5-10 tahun. ”Berlian” itu baru bisa diperoleh jika didukung SDM dan dukungan dana yang tidak sedikit. Untuk memacu itu, kami mendorong munculnya guru-guru besar yang kini baru 250 orang. Idealnya, 1.000 full professor atau paling tidak 500 guru besar.

Bagaimana cara menemukan dan mengasah SDM ”berlian”?

Diawali dengan selektivitas. Kami tidak mau mencetak sarjana yang berpikir sempit yang merugikan bangsa. Kami ingin melahirkan generasi muda yang sadar ia menjadi bagian masyarakat dan punya tanggung jawab pada peradaban. Ini perlu pendekatan holistik.

Kami mulai dengan peningkatan kualitas dosen, membangun infrastruktur yang baik, menumbuhkembangkan kreativitas, kebebasan berpikir, namun bertanggung jawab untuk mengemukakan pendapat dan berkontribusi pada upaya pemecahan persoalan bersama. Yang penting, bagaimana memanfaatkan apa yang kita miliki secara optimal karena kalau menunggu sampai segala sesuatunya sempurna, kapan itu bisa dilakukan.

Bagaimana proses seleksi masuk UI?

UI membuka 11 jalur masuk untuk pertahankan kualitas ”bibit”. Kami mengundang sekitar 800 lulusan terbaik SMA seluruh Indonesia ikut seleksi masuk. Kalau ikut seleksi biasa atau SIMAK UI belum tentu lulus karena kualitas pendidikan SMA dari Sabang sampai Merauke kan berbeda.

Tes SIMAK itu tes standar. Yang lulus mayoritas siswa di Jabodetabek atau kota-kota besar lain karena mereka berkesempatan bimbingan tes dan dekat fasilitas lain. Padahal banyak anak daerah di pelosok yang lebih berkualitas. UI juga undang para pemenang olimpiade sains untuk masuk UI tanpa tes.

Mahasiswa ideal seperti apa yang diharapkan?

Mahasiswa yang seimbang antara orientasi scientific values dengan arts dan morality. Jadi secara ilmu pengetahuan baik, seni dan moralitasnya juga baik. Kami ingin menciptakan generasi baru yang mampu berpikir holistik, tidak parsial, dan seimbang dengan orientasi pada keilmuan.

Selain perbaikan kualitas SDM, apa rencana UI ke depan?

Kami ingin membuka pusat penelitian untuk perkeretaapian lengkap dengan tremway di dalam kampus bekerja sama dengan Kementerian Perhubungan. Kami tahun ini akan membangun gedung pusat kesenian dan kebudayaan lengkap dengan gedung konser dan museum seni. Gedung ini penting untuk menjaga keseimbangan otak kiri dan kanan supaya mahasiswa tidak hanya berkutat dengan sains dan teknologi, tetapi juga seni dan budaya. UI akan membangun pusat penelitian terintegrasi dan rumah sakit.

Apakah UI menjadi mahal?

Sebaliknya, justru sekolah termurah di Indonesia karena kualitas UI tidak kalah dengan perguruan tinggi di Malaysia, Filipina, Thailand. Dengan kualitas seperti itu, uang kuliahnya hanya Rp 100 ribu hingga Rp 7,5 juta berdasar kemampuan. Beasiswa hingga sekitar Rp 36 miliar untuk strata 1 reguler. Tidak ada alasan takut masuk UI karena biaya mahal.

Dengan banyaknya gedung di UI, apakah tidak mengganggu konsep UI Go Green? Tentu tidak karena gedung-gedung yang dibangun termasuk ”gedung hijau” yang hemat energi. Kami menyadari masalah serius seperti ancaman pandemi, kekurangan energi, kekurangan makanan, dan perubahan iklim.

Untuk itu, kami mulai peduli lingkungan di dalam kampus sendiri seperti naik sepeda atau membangun ”gedung hijau” seperti perpustakaan yang sedang dibangun. Di satu sisi gedung-gedung itu merepresentasikan perhatian pada perkembangan ilmu pengetahuan. Di sisi lain, kami ingin merepresentasikan perspektif yang menunjukkan keseimbangan antara tercapainya kemajuan dari peradaban dengan lahirnya keadilan, demokrasi, dan kelestarian lingkungan.

Sumber anggaran UI?

Tentu kami harapkan dukungan pemerintah. Harus ada perguruan tinggi di negeri ini, satu saja dulu, yang masuk peringkat dunia untuk menumbuhkan rasa bangga dan percaya diri bangsa. Kami mengundang filantropi kalangan industri. Kami ingin hasil penelitian dipatenkan dan dihubungkan dengan industri. Selama ini kami sering dibantu industri terutama untuk pemberian beasiswa.

http://edukasi.kompas.com/read/2010/02/08/07272444/Asah.Berlian.Calon.Peraih.Nobel


SOICHIRO HONDA : “Lihat Kegagalan Saya”

Posted by Shidiq - Rifqi On Sabtu, 13 Februari 2010 0 komentar

Pengalaman adalah guru yang paling brutal dan kejam.

Cobalah amati kendaraan yang melintasi jalan raya. Pasti, mata Anda selalu terbentur pada Honda, baik berupa mobil maupun motor. Merk kendaran ini menyesaki padatnya lalu lintas, sehingga layak dijuluki “raja jalanan”.

Namun, pernahkah Anda tahu, sang pendiri “kerajaan” Honda – Soichiro Honda – diliputi kegagalan. Ia juga tidak menyandang gelar insinyur, lebih-lebih Profesor. Ia bukan siswa yang memiliki otak cemerlang. Di kelas, duduknya tidak pernah di depan, selalu menjauh dari pandangan guru. “Nilaiku jelek di sekolah. Tapi saya tidak bersedih, karena dunia saya disekitar mesin, motor dan sepeda,” tutur tokoh ini, yang meninggal pada usia 84 tahun, setelah dirawat di RS Juntendo, Tokyo, akibat mengindap lever. Saat merintis bisnisnya Soichiro Honda selalu diliputi kegagalan. Ia sempat jatuh sakit, kehabisan uang, dikeluarkan dari kuliah. Namun ia trus bermimpi dan bermimpi…

Kecintaannya kepada mesin, mungkin ‘warisan’ dari ayahnya yang membuka bengkel reparasi pertanian, di dusun Kamyo, distrik Shizuko, Jepang Tengah, tempat kelahiran Soichiro Honda. Di bengkel, ayahnya memberi cathut (kakak tua) untuk mencabut paku. Ia juga sering bermain di tempat penggilingan padi melihat mesin diesel yang menjadi motor penggeraknya. Di situ, lelaki kelahiran 17 November 1906, ini dapat berdiam diri berjam-jam. Di usia 8 tahun, ia mengayuh sepeda sejauh 10 mil, hanya ingin menyaksikan pesawat terbang.

Ternyata, minatnya pada mesin, tidak sia-sia. Ketika usianya 12 tahun, Honda berhasil menciptakan sebuah sepeda pancal dengan model rem kaki. Tapi, benaknya tidak bermimpi menjadi usahawan otomotif. Ia sadar berasal dari keluarga miskin. Apalagi fisiknya lemah, tidak tampan, sehingga membuatnya rendah diri.

Di usia 15 tahun, Honda hijrah ke Jepang, bekerja Hart Shokai Company. Bosnya, Saka Kibara, sangat senang melihat cara kerjanya. Honda teliti dan cekatan dalam soal mesin. Setiap suara yang mencurigakan, setiap oli yang bocor, tidak luput dari perhatiannya. Enam tahun bekerja disitu, menambah wawasannya tentang permesinan. Akhirnya, pada usia 21 tahun, bosnya mengusulkan membuka suatu kantor cabang di Hamamatsu. Tawaran ini tidak ditampiknya.

Di Hamamatsu prestasi kerjanya tetap membaik. Ia selalu menerima reparasi yang ditolak oleh bengkel lain. Kerjanya pun cepat memperbaiki mobil pelanggan sehingga berjalan kembali. Karena itu, jam kerjanya larut malam, dan terkadang sampai subuh. Otak jeniusnya tetap kreatif. Pada zaman itu, jari-jari mobil terbuat dari kayu, hingga tidak baik meredam goncangan. Ia punya gagasan untuk menggantikan ruji-ruji itu dengan logam. Hasilnya luarbiasa. Ruji-ruji logamnya laku keras, dan diekspor ke seluruh dunia. Di usia 30, Honda menandatangani patennya yang pertama.

Setelah menciptakan ruji, Honda ingin melepaskan diri dari bosnya, membuat usaha bengkel sendiri. Ia mulai berpikir, spesialis apa yang dipilih? Otaknya tertuju kepada pembuatan Ring Pinston, yang dihasilkan oleh bengkelnya sendiri pada tahun 1938. Sayang, karyanya itu ditolak oleh Toyota, karena dianggap tidak memenuhi standar. Ring buatannya tidak lentur, dan tidak laku dijual. Ia ingat reaksi teman-temannya terhadap kegagalan itu. Mereka menyesalkan dirinya keluar dari bengkel.

Kuliah karena kegagalan itu, Honda jatuh sakit cukup serius. Dua bulan kemudian, kesehatannya pulih kembali. Ia kembali memimpin bengkelnya. Tapi, soal Ring Pinston itu, belum juga ada solusinya. Demi mencari jawaban, ia kuliah lagi untuk menambah pengetahuannya tentang mesin. Siang hari, setelah pulang kuliah – pagi hari, ia langsung ke bengkel, mempraktekan pengetahuan yang baru diperoleh. Setelah dua tahun menjadi mahasiswa, ia akhirnya dikeluarkan karena jarang mengikuti kuliah.

“Saya merasa sekarat, karena ketika lapar tidak diberi makan, melainkan dijejali penjelasan bertele-tele tentang hukum makanan dan pengaruhnya,” ujar Honda, yang gandrung balap mobil. Kepada Rektornya, ia jelaskan maksudnya kuliah bukan mencari ijasah. Melainkan pengetahuan. Penjelasan ini justru dianggap penghinaan.

Berkat kerja kerasnya, desain Ring Pinston-nya diterima. Pihak Toyota memberikan kontrak, sehingga Honda berniat mendirikan pabrik. Eh malangnya, niatan itu kandas. Jepang, karena siap perang, tidak memberikan dana. Ia pun tidak kehabisan akal mengumpulkan modal dari sekelompok orang untuk mendirikan pabrik. Lagi-lagi musibah datang. Setelah perang meletus, pabriknya terbakar dua kali.

Namun, Honda tidak patah semangat. Ia bergegas mengumpulkan karyawannya. Mereka diperintahkan mengambil sisa kaleng bensol yang dibuang oleh kapal Amerika Serikat, digunakan sebagai bahan mendirikan pabrik. Tanpa diduga, gempa bumi meletus menghancurkan pabriknya, sehingga diputuskan menjual pabrik Ring Pinstonnya ke Toyota. Setelah itu, Honda mencoba beberapa usaha lain. Sayang semuanya gagal.

Akhirnya, tahun 1947,setelah perang Jepang kekurangan bensin. Di sini kondisi ekonomi Jepang porak-poranda. Sampai-sampai Honda tidak dapat menjual mobilnya untuk membeli makanan bagi keluarganya. Dalam keadaan terdesak, ia memasang motor kecil pada sepeda. Siapa sangka, “sepeda motor” – cikal bakal lahirnya mobil Honda – itu diminati oleh para tetangga. Mereka berbondong-bondong memesan, sehingga Honda kehabisan stok.

Disinilah, Honda kembali mendirikan pabrik motor. Sejak itu, kesuksesan tak pernah lepas dari tangannya. Motor Honda berikut mobinya, menjadi “raja” jalanan dunia, termasuk Indonesia. Soichiro Honda mengatakan, janganlah melihat keberhasilan dalam menggeluti industri otomotif. Tapi lihatlah kegagalan-kegagalan yang dialaminya. “Orang melihat kesuksesan saya hanya satu persen. Tapi, mereka tidak melihat 99% kegagalan saya”, tuturnya. Ia memberikan petuah ketika Anda mengalami kegagalan, yaitu mulailah bermimpi, mimpikanlah mimpi baru dan berusahalah untuk merubah mimpi itu menjadi kenyataan.

Kisah Honda ini, adalah contoh bahwa Suskes itu bisa diraih seseorang dengan modal seadanya, tidak pintar di sekolah, ataupun berasal dari keluarga miskin. Jadi buat apa kita putus asa bersusah hati merenungi nasib dan kegagalan. Tetaplah tegar dan teruslah berusaha, lihatlah Honda sang ”Raja” jalanan.

5 Resep keberhasilan Honda:

1. Selalulah berambisi dan berjiwa muda.
2. Hargailah teori yang sehat, temukan gagasan baru, khususkan waktu memperbaiki produksi.
3. Senangilah pekerjaan Anda dan usahakan buat kondisi kerja Anda senyaman mungkin.
4. Carilah irama kerja yang lancar dan harmonis.
5. Selalu ingat pentingnya penelitian dan kerja sama.


http://www.kisahinspiratif.com/soichiro-honda-%E2%80%9Clihat-kegagalan-saya%E2%80%9D.html


Kesempatan Dalam Kehidupan

Posted by Shidiq - Rifqi On Jumat, 12 Februari 2010 0 komentar

Di sebuah ladang yang subur, terdapat 2 buah bibit tanaman yang terhampar. Bibit yang pertama berkata, “Aku ingin tumbuh besar. Aku ingin menjejakkan akarku sangat dalam di tanah ini, dan menjulangkan tunas-tunasku di atas kerasnya tanah ini. Aku ingin membentangkan semua tunasku, untuk menyampaikan salam musim semi. Aku ingin merasakan kehangatan matahari, serta kelembutan embun pagi di pucuk-pucuk daunku.”

Dan bibit yang pertama inipun tumbuh, makin menjulang.

Bibit yang kedua bergumam. “Aku takut. Jika kutanamkan akarku ke dalam tanah ini, aku tak tahu, apa yang akan kutemui di bawah sana. Bukankah disana sangat gelap? Dan jika kuteroboskan tunasku keatas, bukankah nanti keindahan tunas-tunasku akan hilang? Tunasku ini pasti akan terkoyak. Apa yang akan terjadi jika tunasku terbuka, dan siput-siput mencoba untuk memakannya? Dan pasti, jika aku tumbuh dan merekah, semua anak kecil akan berusaha untuk mencabutku dari tanah. Tidak, akan lebih baik jika aku menunggu sampai semuanya aman.”

Dan bibit itupun menunggu, dalam kesendirian.

Beberapa pekan kemudian, seekor ayam mengais tanah itu, menemukan bibit yang kedua tadi, dan memakannya segera.

***

Teman, memang, selalu saja ada pilihan dalam hidup. Selalu saja ada lakon-lakon yang harus kita jalani. Namun, seringkali kita berada dalam kepesimisan, kengerian, keraguan, dan kebimbangan-kebimbangan yang kita ciptakan sendiri. Kita kerap terbuai dengan alasan-alasan untuk tak mau melangkah, tak mau menatap hidup. Karena hidup adalah pilihan, maka, hadapilah itu dengan gagah. Dan karena hidup adalah pilihan, maka, pilihlah dengan bijak.
Sahabat, tiap pilihan selalu ada resiko yang mengiringinya. Namun jangan sampai ketakutan, keraguan dan kebimbangan, menghentikan langkah kita.

ps. “Bukalah setiap pintu kesempatan yang datang mengetuk, sebab, siapa tahu, pintu itu tak mengetuk dua kali.” (Hilman, Lupus I)

http://www.resensi.net/kesempatan-dalam-kehidupan/2009/11/27/#more-590